Saat Tersadar Akan Realita

Satu bulan yang sepi, banyak waktu yang tersedia untuk berpikir dan berbicara kepada diri sendiri. Kegundahan dan rasa galau yang wara-wiri sebelumnya berkumpul dan berdiskusi. "Aku sayang dia", ku ucap pada diri sendiri. "Aku ingin menikah", pikirku lagi. Ku timang-timang berbagai alasan pro dan kontra cukup lama sampai ku putuskan untuk tidak menjadi egois. Tujuanku sekarang adalah mencari pasangan yang serius, yang artinya jika aku ingin semua berjalan lancar aku harus mencari yang juga bisa diterima oleh kedua orang tuaku.

Syarat utama, syarat yang mutlak, harus juga sama-sama keturunan chinese. Memang satu ras juga belum tentu artinya hubungan dapat berjalan lancar dan baik, tetapi hal itu dianggap bisa meminimalisir miskomunikasi yang terjadi karena pola pikir dan kebiasaannya sedari kecil kurang lebih mirip. Bagi yang sudah mengenalku sedari lama pasti tau, aku tidak memiliki rasa ketertarikan dalam menjalin hubungan asmara dengan sesama chinese. Entah mengapa itu bukan seleraku. Tetapi aku berpikir, aku tidak boleh egois, aku tidak mau mengecewakan kedua orang tuaku dengan menikahi orang yang mereka tidak restui karena pernikahan artinya membuat dua keluarga menjadi satu, bukannya aku yang memiliki dua keluarga terpisah, bukan seperti itu yang aku inginkan. Aku ingin semuanya dapat saling menerima, saling membuka tangan tanpa harus aku berada di tengah sebagai mediator.

Dengan berat hati aku memutuskan hubungan yang sangat bermakna ini dengan durasi yang baru seumur jagung.  Lebih baik kusudahi sekarang daripada nanti saat semuanya sudah begitu dalam dan sulit untuk keluar.

Sangat berat untuk melepasnya. Dia datang ketika aku sedang rapuh, ketika aku butuh bahu untuk bersandar, ketika kepercayaan diriku sedang tidak pada tempatnya, ketika aku tidak bisa menemukan semangat, ketika aku butuh untuk dikuatkan. Kami memang saling membutuhkan saat itu, tetapi dia yang lebih banyak memberi padaku hal-hal yang aku butuhkan. Bukan yang aku minta, tapi yang aku butuhkan. Dia mengembalikan kepercayaan diriku, dia menghapus depresiku, dia memacu semangatku, dia menguatkan aku, dan yang paling penting, dia membuatku bahagia lagi. Dia yang mengembalikan senyumanku menjadi kembali ikhlas, sebagai tanda pengungkapan rasa senang, bukan sekedar aksesoris sosialisasi.

Waktuku bersamanya tak lama, tapi cukup untuk meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Dia menunjukan padaku bagaimana mencintai orang lain dengan sepenuh hati. Dia menunjukan padaku bagaimana seharusnya wanita diperlakukan dan dihargai.

Terima kasih ya, Na untuk semuanya yang sudah kamu berikan ke aku, untuk semua yang sudah kamu tunjukan ke aku, untuk semua rasa sayang dan waktumu untuk aku. Selamanya aku gak akan bisa melupakan kebaikan kamu. Aku selalu doakan yang terbaik untuk kamu, jaga diri baik-baik yah. :)

Comments

Popular posts from this blog

Am Not Ready

Hitting Low

Decisions, decisions.